Laman

Selasa, 21 April 2015

MI’ROJ BARENG mas ebiet..... jare kang Eko


apakah ada bedanya
hanya diam menunggu
dengan memburu bayang-bayang
sama-sama kosong
kucoba tuang ke dalam kertas
dengan garis dan warna-warni yang aku rindui

apakah ada bedanya
bila mata terpejam
pikiran jauh mengembara
menembus batas langit
cintamu telah membakar jiwaku
harum aroma tubuhmu menyumbat kepala dan pikiranku

di bumi yang berputar
pasti ada gejolak
ikuti saja iramanya
isi dengan rasa
di menara langit
halilintar bersabung
aku merasa tak terlindung
terbakar kegetiran

cinta yang kuberi
sepenuh hatiku
entah yang kuterima
aku tak peduli

apakah ada bedanya
ketika kita bertemu
dengan saat kita berpisah
sama-sama nikmat
tinggal bagaimana kita menghayati
dibelahan jiwa yang mana
kita sembunyikan dada yang terluka
duka yang tersayat
rasa yang terluka

Duh.. duh.. duh.. kalo Kang Eko ndengerin lagunya Mas Ebiet ini, rasanya nggak karu-karuan banget. Kepengin nangis, masuk kamar, sujud dan menutup semua lubang hawa yang ada. Duh Gusti…
Lagu Mas Ebiet ini sebenarnya sedang menceritakan proses mi’raj seseorang. Proses pertemuan dengan Gusti Allah. Kok bisa ? Yuk… dicoba ditlisik lagi lagunya.
apakah ada bedanya
hanya diam menunggu
dengan memburu bayang-bayang
sama-sama kosong
kucoba tuang ke dalam kertas
dengan garis dan warna-warni yang aku rindui

Sebagian orang “mencoba” untuk bertemu dengan Gusti Allah dengan berbagai cara. Ada yang jengkang-jengking shalat tengah malem, ada yang puasa, ada yang gini, ada yang gitu… lah pokoknya banyak sekali yang ditempuh. Kebanyakan menyatakan bahwa Gusti Allah ndak bisa ditemui kalau ndak lewat model begini atau begitu. Duh… Padahal kita ndak bisa apa-apa. Sungguh.  Kang Eko sendiri sudah coba banyak cara. Tapi ya begitulah. Akhirnya ada sebuah nasehat, agar  Kang Eko ndak usah banyak rogeh, ndak usah banyak tingkah. Hening saja. Diam merasakan sesuatu. Karena dicari ke manapun, Gusti Allah ndak akan bisa ditemukan dengan pemikiran. Lha wong Yang Suci Dari Angan kok dicari, yo ndak bakalan ketemu to. Yah… yang bisa kita lakukan adalah mulai menyelam ke dalam diri. Hening. Dalam diam. Menyediakan media untuk bisa menyaksikan. Dalam kesendirian.
apakah ada bedanya
bila mata terpejam
pikiran jauh mengembara
menembus batas langit
cintamu telah membakar jiwaku
harum aroma tubuhmu menyumbat kepala dan pikiranku

Dalam kesendirian, meditasi atau semedi, atau dalam shalat yang khusyuk, saat mata terpejam, biarkan.. sekali lagi biarkan apa yang nampak tanpa kita atur dengan keinginan, akal atau pikir kita. Cobalah dari mata yang terpejam itu kita mencoba untuk melihat. Melihat sesuatu dalam gelap pekat. Lihat saja. Menembus batas ketidak tahuan. Dalam kerinduan yang membakar akan pertemuan dengan illahi robbi, insyaallah sesuatu akan terlihat. Dan biasanya, kita tidak bisa berpikir lagi. Tidak bisa lagi merasakan apapun. Sesak. Dingin… Hhhh…
di bumi yang berputar
pasti ada gejolak
ikuti saja iramanya
isi dengan rasa
di menara langit
halilintar bersabung
aku merasa tak terlindung
terbakar kegetiran

Kalau lagi begini, bumi serasa berputar. Mumet. Nggleyeng. Rasanya ndak karu-karuan. Kalau yakin dengan perjumpaan dan penyaksian, jangan hentikan. Ikuti saja semua ini. Rasakan. Biarkan semuanya menggelegar. Mengguncang dan mendera kita. Karena pada saat itu sesuatu mulai menerpa. Menampakkan kemegahan laksana Tuhan yang menampakkan wajahnya pada gunung Sina saat Nabi Musa memohon. Hancur luluh. Tubuh serasa bulu ditiup angin. Melayang.
cinta yang kuberi
sepenuh hatiku
entah yang kuterima
aku tak peduli

Dalam keadaan seperti ini, kerinduan pada ilahi robbi tak lagi mengharap apapun. Pertemuan. Penyaksian. Entah apa yang akan terjadi. Matikah. Sakitkah. Pasrah. Sumarah. Nrimo Ing Pandum. Menerima ketentuan.
apakah ada bedanya
ketika kita bertemu
dengan saat kita berpisah
sama-sama nikmat
tinggal bagaimana kita menghayati
dibelahan jiwa yang mana
kita sembunyikan dada yang terluka
duka yang tersayat
rasa yang terluka

Ketika penyaksian telah terjadi, keyakinan bahwa Tuhan tak pernah meninggalkan kita sedemikian besar. Kemanapun, di manapun, kita ada di dalamNya. Kerinduan, akan terus berkecamuk. Menimbulkan rasa tak ingin berpisah. Ingin selalu menatap. Namun, layaknya nJeng Rasulullah dulu diperintahkan untuk tetap isra, maka begitulah kita. Tetap harus melanjutkan hidup di alam penyaksian ini.
Duh… dlewer he  Kang Eko. Sedih… cuma bisa omong. Monggo,...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar