Laman

Senin, 22 Oktober 2012

Idul Qurban

Pengertian Qurban 
Qurban dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah udlhiyah. Sedangkan pengertian dari udlhiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari Idul Adlha dan hari Tasyriq dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah

Dasar pijakan Qurban
إناأعطيناك الكوثر 4 فصل لربك وانحر4 إن شانئك هوالأبتر4
Artinya : 1. Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. 2. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanla. 3. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus (QS. Al-Kautsar :1-3)

Hukum Qurban
Mengenai hukum berqurban, terdapat dua pendapat, yaitu:
1. Wajib
Pendapat ini disponsori oleh ulama Rabi’ah (guru Imam Malik), Al Auza’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits bin Sa’ad serta sebagian ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.
Diantara dalil yang mewajibkan qurban adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwasanya Rasulullah  SAW  bersabda, “Barang siapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
2. Sunnat muakkad
Ini adalah merupakan pendapat mayoritas ulama, di antaranya adalah Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad, dan lain-lain. Mereka beralasan bahwasanya Abu Mas’ud Al Anshari r.a. menyatakan, “Sesungguhnya aku sedang tidak akan berqurban. Padahal aku adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau-kalau tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku.” (HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih). Demikian pula dikatakan oleh Abu Sarihah, “Aku melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua tidak berqurban.” (HR. Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih)
Orang yang berqurban, niscaya Allah akan segera memberikan ganti biaya qurban yang dia keluarkan. Karena setiap pagi Allah mengutus dua malaikat, yang satu berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq.” Dan yang kedua berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan hartanya (pelit).” (HR. Al Bukhari 1374 & Muslim 1010).
Dalil-dalil di atas merupakan dalil pokok yang digunakan masing-masing pendapat. Jika dijabarkan semuanya menunjukkan bahwa masing-masing pendapat sama kuat. Sebagian ulama memberikan jalan keluar dari perselisihan dengan menasehatkan:  “…selayaknya bagi mereka yang mampu, tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan, wallahu a’lam.” (Tafsir Adwa’ul Bayan, 1120)

Larangan bagi mudlahhi (orang yang berqurban) 
Ketika seseorang yang berqurban ( mudlahhi )  ada hal-hal yang tidak boleh dilakukan (larangan) yaitu memotong kuku dan memotong rambutnya. Dari Ummu Salamah dari Nabi Muhammad SAW, Beliau bersabda, “Apabila engkau telah memasuki sepuluh hari pertama (bulan Dzulhijjah) sedangkan diantara kalian ingin berqurban maka janganlah dia menyentuh sedikitpun bagian dari rambut dan kulitnya.” (HR. Muslim). Larangan tersebut berlaku untuk cara apapun dan untuk bagian manapun, misalnya mencukur gundul atau sebagian saja, atau sekedar mencabutinya; baik yang dicukur atau dicabuti itu berupa rambut yang berada di kepala, kumis, sekitar kemaluan maupun di ketiak (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/376).

Penyembelih hewan udlhiyah 
Disunnahkan bagi mudlahhi (orang yang berqurban) untuk menyembelih hewan qurbannya sendiri akan tetapi boleh juga diwakilkan kepada orang lain. Hal ini berdasarkan hadits shahabat Ali bin Abi Thalib r.a  yang menceritakan bahwa pada saat Rasulullah SAW berqurban, Beliau menyembelih beberapa onta qurbannya dengan tangan beliau sendiri kemudian sisanya diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib r.a untuk disembelih.

Bolehkah memberikan qurban kepada orang kafir?
1. Ulama Malikiyyah berpendapat makruhnya memberikan daging qurban kepada orang kafir, sebagaimana kata Imam Malik: “(diberikan) kepada selain mereka (orang kafir) lebih aku sukai.” 
2. Ulama Syafi’iyah berpendapat haramnya memberikan daging qurban kepada orang kafir untuk qurban yang wajib, dan makruh untuk qurban yang sunnah. (lihat Fatwa Syabakah Islamiyah no. 29843).
3. Al Baijuri mengatakan: “Dalam Al Majmu’ (Syarhul Muhadzab) disebutkan, boleh memberikan sebagian qurban sunnah kepada kafir dzimmi yang faqir. Tapi ketentuan ini tidak berlaku untuk qurban wajib.” (Hasyiyah Al Baijuri 2/310)
Lajnah Daimah (Majlis Ulama’ Saudi Arabia) ditanya tentang bolehkah memberikan daging qurban kepada orang kafir.
Jawaban Lajnah: 
Kita dibolehkan memberi daging qurban kepada orang kafir Mu’ahid, baik karena statusnya sebagai orang miskin, kerabat, tetangga, atau karena dalam rangka menarik simpati mereka… namun tidak dibolehkan memberikan daging qurban kepada orang kafir Harby, karena kewajiban kita kepada kafir harby adalah merendahkan mereka dan melemahkan kekuatan mereka. Hukum ini juga berlaku untuk pemberian sedekah. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah:
لا ينهكم الله عن الذين لم يقاتلوكم في الدين ولم يخرجوكم من دياركم أن تبروهم وتقسطوا إليهم إن الله يحب المقسطين ( الممتحنة : 8 )
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah 8)
Demikian pula Nabi SAW pernah memerintahkan Asma’ binti Abu Bakar r.a untuk menemui ibunya dengan membawa harta padahal ibunya masih musyrik.” (Fatwa Lajnah Daimah no. 1997).
Kesimpulannya, memberikan bagian hewan qurban kepada orang kafir dibolehkan karena status hewan qurban sama dengan sedekah atau hadiah, dan diperbolehkan memberikan sedekah maupun hadiah kepada orang kafir. Sedangkan pendapat yang melarang adalah pendapat yang tidak kuat.
Keterangan :
1. Kafir Mu’ahid adalah kafir yang mengikat perjanjian damai dengan kaum muslimin. Termasuk dalam kafir jenis ini adalah kafir yang masuk ke negeri islam dengan izin resmi dari pemerintah
2. Kafir Dzimmi adalah kafir yang hidup di bawah kekuasaan kaum muslimin.
3. Kafir Harby adalah kafir yang memerangi kaum muslimin. 

Larangan memperjualbelikan hasil sembelihan qurban 
Tidak diperbolehkan memperjual-belikan bagian hewan sembelihan, baik daging, kulit, kepala, teklek, bulu, tulang maupun bagian yang lainnya. Ali bin Abi Thalib r.a mengatakan,  Rasulullah SAW memerintahkan aku untuk mengurusi penyembelihan onta qurbannya. Beliau juga memerintahkan saya untuk membagikan semua kulit tubuh serta kulit punggungnya. Dan saya tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun darinya kepada tukang jagal.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan terdapat ancaman keras dalam masalah ini, sebagaimana hadis berikut:
مَنْ باعَ جِلْدَ أُضْحِيَتــِهِ فَلا أُضْحِيَةَ لَهُ
 “Barang siapa yang menjual kulit hewan qurbannya maka ibadah qurbannya tidak ada nilainya.” (HR. Al Hakim 2/390 & Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan: Hasan)
Tetang haramnya pemilik hewan (mudlahhi) menjual kulit qurban merupakan pendapat mayoritas ulama, meskipun Imam Abu Hanifah menyelisihi mereka. Namun mengingat dalil yang sangat tegas dan jelas maka pendapat siapapun harus disingkirkan.

Catatan: 
Bagi orang yang menerima kulit dibolehkan memanfaatkan kulit sesuai keinginannya, baik dijual maupun untuk pemanfaatan lainnya, karena ini sudah menjadi haknya. Sedangkan menjual kulit yang dilarang adalah menjual kulit sebelum dibagikan (disedekahkan), baik yang dilakukan panitia maupun mudlahhi (orang yang berqurban).

Larangan mengupah jagal dengan bagian hewan qurban 
Larangan mengupah jagal dengan bagian hewan qurban adalah berdasarkan hadits Rasulullah SAW, bahwasanya shahabat Ali r.a pernah diperintah oleh Nabi SAW untuk mengurusi penyembelihan ontanya dan agar membagikan seluruh bagian dari sembelihan onta tersebut, baik yang berupa daging, kulit tubuh maupun pelana. Dan dia tidak boleh memberikannya kepada jagal barang sedikitpun.” (HR. Bukhari dan Muslim) dan dalam lafaz lainnya beliau berkata, “Kami mengupahnya dari uang kami pribadi.” (HR. Muslim). Dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/379)
Syaikh Abdullah Al Bassaam mengatakan, “Tukang jagal tidak boleh diberi daging atau kulitnya sebagai bentuk upah atas pekerjaannya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Yang diperbolehkan adalah memberikannya sebagai bentuk hadiah jika dia termasuk orang kaya atau sebagai sedekah jika ternyata dia adalah miskin…..” (Taudhihul Ahkaam, IV/464). Pernyataan beliau senada dengan pernyataan Ibn Qosim yang mengatakan: “Haram menjadikan bagian hewan qurban sebagai upah bagi jagal. (Hasyiyah Al Baijuri As Syafi’i 2/301).
Adapun bagi orang yang memperoleh hadiah atau sedekah daging qurban diperbolehkan memanfaatkannya sekehendaknya, bisa dimakan, dijual atau yang lainnya. (lihat dalam: Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, 69)

Mengambil satu kambing atau sebagian yang dipergunakan untuk konsumsi panitia? Atau panitia dapat jatah khusus? 
Status panitia maupun jagal dalam pengurusan hewan qurban adalah sebagai wakil dari mudlahhi (orang yang berqurban) dan bukan amil. Karena statusnya hanya sebagai wakil, maka panitia qurban tidak diperkenankan mengambil bagian dari hewan qurban sebagai ganti dari jasa dalam mengurusi hewan qurban. Untuk memperjelas masalah ini, perhatikan analog berikut ini:
Arman ingin mengirim uang Rp 2.000.000 juta kepada Usman. Karena Arman tidak bisa bertemu  langsung dengan Usman, maka Arman menyuruh Jali untuk mengantarkan uangnya sebayak 2.000.000 tersebut kepada Usman. Karena harus ada biaya transport dan biaya lainnya, maka Arman memberikan sejumlah uang kepada Jali. Tetapi dalam kenyataanya, Jali masih mengambil sebagaian uang titipan yang berjumlah Rp. Rp. 2.000.000 tadi walaupun Jali sudah diberi uang untuk transportasi dan lain-lain (sebagai operasinal). Terus timbul pertanyaan, apakah boleh Jali mengambil uang sebagian lagi dari titipan uangnya Arman Rp.2.000.000 tadi, walaupun hanya seribu perak? Tentu orang akan menjawab: Tidak boleh karena akan mengurangi uang kiriman Arman. 
Status Jali pada masalah di atas hanyalah sebagai wakil Arman. Demikian pula qurban. Status panitia hanya sebagai wakil dari mudlahhi (orang yang berqurban), sehingga dia tidak dibenarkan mengambil bagian qurban dengan dalih pengganti jasa. Oleh karena itu, jika menyembelih satu kambing untuk makan-makan panitia, atau panitia dapat jatah khusus sebagai ganti jasa dari kerja yang dilakukan panitia maka ini tidak diperbolehkan. Karena ada sebagian orang yang beranggapan bahwa status panitia qurban adalah sama dengan status amil dalam zakat. Bahkan mereka meyebut panitia qurban dengan ‘amil qurban’. Dengan demikian maka mereka memiliki jatah khusus dari hewan qurban sebagaimana amil zakat memiliki jatah khusus dari harta zakat. Padahal anggapan ini adalah salah. Yang benar adalah: panitia qurban tidaklah sama dengan Amil Zakat.

Solusi Untuk masalah kulit, kepala, kaki atau Jeroan 
Kumpulkan semua kulit, kepala, kaki atau Jeroan hewan qurban. Tunjuk sejumlah orang miskin sebagai sasaran penerima kulit. Tidak perlu diantar ke rumahnya, tapi cukup hubungi mereka dan sampaikan bahwa panitia siap menjualkan kulit yang sudah menjadi hak mereka. Dengan demikian, status panitia dalam hal ini adalah sebagai wakil bagi pemilik kulit untuk menjualkan kulit, bukan wakil dari shohibul qurban dalam menjual kulit.
·         Serahkan semua atau sebagian kulit, kepala, kaki atau Jeroan kepada yayasan islam sosial (misalnya panti asuhan atau pondok pesantren). (Terdapat Fatwa Lajnah yang membolehkan menyerahkan bagian hewan qurban kepada yayasan).

1 komentar:

  1. Artikel yang menarik.
    Terimakasih atas artikelnya

    Ragil

    BalasHapus